PILKADA NTT DAN AFORISME CALON KEPALA DAERAH

Opinaun288 Views
banner 468x60

Perhelatan politik Indonesia tidak berhenti setelah pemilihan umum serentak tingkat nasional. Saat ini, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sedang mempersiapkan diri menggelar pesta demokrasi dengan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) serentak se-Provinsi NTT.

Terhitung sebanyak 87 pasangan calon (paslon) kepala daerah dari 21 kabupaten plus Walikota Kupang dan pemilihan gubernur (pilgub) NTT (detik.com 25/09/2024).

banner 336x280

Secara kuantitas, dan kualitas, 87 paslon ini memiliki keunggulan masing-masing. Tidak dapat diragukan lagi bahwa pilkada serentak ini dalam satu bingkai “visi-misi” yakni memajukan NTT yang sejahtera. Masing-masing paslon tentu sudah memiliki visi-misi sendiri. Pertanyaan yang muncul adalah quo vadis NTT di tengah gempuran masalah yang masih melilitnya?
Quo Vadis NTT dan Aforisme Pasangan Calon
Sebuah tanya kecil: mau kemana/quo vadis NTT? Mungkin pertanyaan ini sudah sering diucapkan. Tersirat di dalam pertanyaan ini aneka interpretasi, bermacam-macam gagasan epistemologis yang dihasilkan agar masuk akal, apalagi bila dikaitkan dengan situasi NTT kini dan persiapan menjelang pilkada serentak.

Pertanyaan ini pasti sudah selesai dijawab oleh para pakar pedagogis, tapi masih menjadi PR besar dalam praksis berpolitik. Tentu interpretasi quo vadis NTT dalam tulisan ini tidak bermaksud menyinggung paslon tertentu melainkan satu afirmasi untuk 87 paslon dari tingkat kabupaten/kota hingga provinsi yang akan bertarung pada pilkada serentak yang akan datang.

Pertanyaan ini tidak pernah selesai dijawab oleh para pemimpin yang pernah terpilih. NTT selalu diplesetkan secara minus-malum sosial sebagai “Nanti Tuhan Tolong” karena “Nangis Terus-Terus” sebab “Nasib Tidak Tentu” agar tidak menjadi “Nestapa Tiap Tahun”. Boleh jadi NTT setelah sekian periode dapat diplesetkan menjadi “Nusa Tipu-Tipu”.

Sebab pemimpin datang silih berganti, periode berganti periode tetapi NTT ‘nasibnya tinggal tetap’. Apa saja nasib yang belum sepenuhnya diatasi? Sebut saja: busung lapar/stunting, KDRT, human trafficking, nasib TKI yang kembali setelah menjadi mayat, masalah tambang, panas bumi (Ulumbu dan Sanonggoang di Manggarai), dan masih banyak masalah yang tidak pernah selesai diatasi dari pemimpin ke pemimpin lain.

Dengan banyaknya plesetan-plesetan untuk NTT, tentu para calon (87 paslon) sudah memiliki tag line mengenai nama masing-masing paslon. Dari tag line-tag line para paslon itu setidaknya tergambar makna filosofis dan visi-misinya (aforisme) masing-masing. Secara sepintas aforisme dapat ditemukan dari bahasa Yunani ἀφορισμός, aphorismós, dari apo dan horizein artinya suatu ungkapan mengenai doktrin atau prinsip atau suatu kebenaran yang sudah diterima umum.

Aforisme harus berupa suatu pernyataan ringkas, tajam, dan mudah diingat. Untuk sedikit merujuk pada tag line hemat saya dapat menyebut tiga paslon gubernur dan wakil gubernur NTT.

Dengan demikian jika merujuk pada nama paslon gubernur dan wakil gubernur maka akan ditemukan tag line “MELKY-JONI”, “SIAGA”, “ANSY-JANE”. Dari ketiga tag line ini, tersirat makna filosofis, pedagogis, dan praksis politik dari ketiga paslon yang akan bertarung pada tingkat provinsi nanti juga 84 paslon lainnya.

Kembali ke pengertian aforisme di atas penulis temukan beberapa tantangan dalam praksis politik dari 87 paslon kepala daerah pada pilkada serentak tanggal 27 November mendatang dengan pertanyaan kecil di atas, quo vadis NTT? Pertama, NTT adalah provinsi kepulauan terbesar kedua sesudah Maluku.

Karena itu, para paslon diingatkan untuk tidak selalu tinggal diam di dalam kantor sesudah terpilih. Sebab tidak semua masyarakat dapat mengunjungi perkantoran-perkantoran baik gubernur maupun bupati/walikota. Para paslon diharapkan agar tidak abai terhadap semua janji manis, sebab jika tidak, NTT akan tetap ‘nasib tidak tentu’.

Kedua, NTT memiliki ‘segudang’ sumber daya alam yang menarik para elit politik dan kaum berduit. Tambang dan panas bumi saat ini tengah menjadi masalah. Ulumbu dan Sanonggoang di Manggarai digadang-gadang akan dapat menghasilkan ‘berlaksa-laksa’ daya arus listrik. Jika berhasil mendirikan perusahaan listrik negara (PLN) maka NTT tidak akan tinggal dalam kegelapan.

Tetapi apakah dengan mendirikan PLN, masyarakat adat menjadi aman? Selain itu, masalah air bersih masih menjadi persoalan besar sehingga terjadi gagal panen di mana-mana.

Tentu masalah air termasuk dalam sumber daya alam yang harus diperjuangkan. Jika tidak wilayah-wilayah yang kekurangan air akan berdampak besar pada plesetan NTT ‘negeri tetap terkering’ padahal tidak semua tempat.

Ketiga, NTT dinobatkan sebagai negeri pariwisata dengan penetapan Labuan Bajo sebagai daerah wisata super premium. Apa yang dirasakan rakyat akar rumput mengenai Labuan Bajo? Mungkin saja, rakyat miskin di Tunbaun, Kabupaten Kupan misalnya hanya mendengar nama, tapi tidak pernah merasakan dampak bagi kehidupan.

Apalagi dengan jarak transportasi udara dan laut yang cukup jauh. Padahal masih se-propinsi. Untuk para paslon, apa visi-misi mengenai pariwisata? Apakah hanya menjadi ‘budaya tanding’ dengan Bali yang sudah terlebih dahulu dilabeli ‘negeri pariwisata’?

Keempat, NTT sebagai propinsi sebagai ‘pemasok terbanyak’ human trafficking. Banyak korban TKI ilegal yang kembali tidak bernyawa. Janji gaji besar menggiurkan menjadikan para korban lupa daratan dan lupa diri bahwa semua janji itu taruhan nyawa. Para paslon hendaknya melihat fenomena nyata ini.

Kelima, NTT mendapat gempuran stunting terbanyak di wilayah Indonesia Tengah. Akibatnya, sumber daya manusia (SDM) NTT seakan-akan berjalan di tempat. Padahal, jika melihat kiprah tokoh-tokoh intelektual asal NTT, tidak dapat diragukan kualitasnya.

Tetapi saat ini tokoh-tokoh intelektual NTT bukan hasil dari gempuran stunting. Karena para intelektual itu lahir jauh sebelum fenomena itu nyata. Sementara stunting menjadi fenomena baru terjadi satu decade terakhir.

Jika menghitung maju 30 tahun ke depan, masa depan NTT ada di tangan para penderita stunting. Pertanyaannya: quo vadis NTT 30 tahun ke depan? Adakah intelektual NTT pada saat itu? Para paslon hendaknya melihat ‘sabda’ ini dengan mata bukan politisasi janji. Apa yang akan dibuat oleh para calon sesudah menduduki takhta eksekutif tingkat kabupaten/kota dan provinsi? Ini sebuah tuntutan bahkan wajib diperhatikan dengan sungguh.

Jika tidak, potret buram intelektualitas NTT telah menanti 30 tahun ke depan.
Masih banyak segudang permasalahan NTT yang belum sempat diangkat. Poin-poin yang disebut di atas hemat saya sudah cukup menjadi pengganggu yang ultim untuk para calon.

Namun bukan saja sebagai pengganggu tetapi lebih dari itu, adalah instrumentalisasi bagi para calon untuk menegaskan hakekat aforismenya masing-masing. aforisme yang dijadikan statusquo visi-misi, hendaknya menjadi penggerak demi kemajuan NTT.

Akhirnya NTT akan lebih baik mendapat plesetan bonnum summum secara sosial demografis-territorial-perriferi sebagai negeri ‘Nelayan Tani Ternak’, ‘Negeri Tenun ikaT’. Dua hal ini, akan menjadi peredam kasus human trafficking dan kasus stunting. ‘Nusa Tolak Tambang’ sehingga menjadi ‘Nusa Tanpa Tambang’, akan menjaga marwah lingkungan hidup yang ekologis demi masa depan NTT yang subur permai. ‘New Territory Tourism’ menjadi penggerak bukan hanya Labuan Bajo dengan budaya tanding Bali yang terkenal tetapi tempat-tempat wisata lain di NTT turut diperkenalkan kepada dunia agar dunia melihat betapa kayanya alam NTT untuk tujuan wisata.

‘Negeri Tiada Tanding’ menjadi sebuah tantangan bagi pendidikan NTT, sehingga 30 tahun yang akan datang, kaum intelektual masa kini tidak hanya dikenang dalam album yang terpampang di ‘museum nasional’.

Tetapi lebih dari itu menjadikan ilham sebagai actus semangat generasi muda untuk terus berkiprah di ranah nasional dan internasional.(**)

Oleh: Tomi Runesi Tinggal di Soverdi Ruteng

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *